Kamis, 09 Desember 2010

Gagal Wujudkan Kesejahteraan, Peran Ibu Tegadaikan

Bekerja ke luar negeri
Kemiskinan dan pengangguran merupakan PR terbesar negeri ini. Kemiskinan, bahkan menjadi pemandangan lumrah bagi sekitar 31 juta penduduk Indonesia (13,33 % dari 238 juta) dengan standar pendapatan Rp.211.000/kap/bln (Sensus BPS, 2010). Bayangkan jika besaran standar kemiskinan yang tidak manusiawi ini dinaikkan. Mungkin lebih dari setengah penduduk Indonesia akan masuk katagori miskin.

Sejalan dengan kemiskinan, angka pengangguranpun tak kalah fantastis. Di tahun 2010 ini, diperkirakan jumlah pengangguran terbuka mencapai 23 juta. Ini belum termasuk jumlah pengangguran terselubung dan tertutup yang angkanya bisa dua kali lipat. 

Mandegnya pertumbuhan ekonomi dan investasi di sektor riil akibat krisis global disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya dua hal ini. Sulitnya lapangan pekerjaan dan rasionalisasi besar-besaran di sektor perindustrian membuat angkatan kerja termasuk jutaan lulusan perguruan tinggi tak terserap potensinya. Kehidupan masyarakat yang sulit ini, kemudian diperparah dengan krisis pangan dan energi yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dampak susulannya, gizi buruk dan anak terlantar pun merebak dimana-mana, kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat kian menurun, kriminalitas meningkat, dan lain-lain.

Pada kondisi sempit seperti inilah jutaan keluarga miskin harus bertahan hidup. Untuk membantu perekonomian keluarga, para ibu dan kaum perempuan pun terpaksa ‘memberdayakan diri’, membantu para bapak mencari uang, di tengah peran domestik yang sangat vital dan tak kalah berat. Salah satu opsi yang terbuka adalah dengan menjadi TKI ke luar negeri, sekalipun beresiko tinggi.

Dengan rata-rata bekal kualitas pendidikan dan skill yang pas-pasan, para tenaga kerja perempuan inipun terbang jauh merenda asa. Bertahun-tahun rela meninggalkan keluarga, suami dan anak. Pekerjaan sebagai PRT, perawat, bahkan PSK pun menjadi pilihan paling realistis bagi kebanyakan dari mereka. Hanya sedikit yang bisa  bekerja sebagai dokter, guru/dosen, artis, dll. Nampaknya, mereka sudah tak peduli bahwa pilihan ini telah berdampak pada pelanggaran hukum syara yang akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT. Disamping mencari nafkah bukan kewajiban perempuan, sebagai istri, akan banyak hak suami yang terabaikan saat menjadi TKI di luar negeri. 

Begitupun sebagai ibu, kewajiban mulia dan utamanya sebagai pengasuh, pendidik dan pencetak generasi umat berkualitas akan terlalaikan sama sekali. Tentu hal ini akan berakibat pada lahirnya generasi yang lemah, baik fisik maupun mental, karena pengasuhan dan pendidikan terbaik dari sosok ibu terabaikan. Akan lahir pula generasi preman yang menaikkan angka kriminalitas, karena anak-anak terbiasa hidup di jalanan tanpa kontrol ibu. Dampak lain seperti anarkisme, gelandangan, kasus narkoba dan pergaulan bebas, penyakit kelamin menular, dan sebagainya, kemudian akan susul-menyusul menambah beban berat persoalan bangsa. Sungguh sangat mahal energi dan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk mengatasi berbagai akibat dari terabaikaikannya peran ibu ini.

Inilah bencana kemanusiaan besar yang bersumber dari kegagalan kebijakan negara. Mereka yang mayoritas kaum perempuan dipuja bak pahlawan, karena menjadi sumber devisa buat kelangsungan hidup negara yang senyatanya tak bisa dihasilkan oleh keringat hasil kerja para penguasa. Namun di saat yang sama, mereka harus rela menggadaikan peran penting dan urgen sbg ibu dan pengatur rumah tangga sekaligus menghadapi ketidak acuhan para penguasa akan nasib miris yang menimpa mereka. 

Padahal, sebagai negara super kaya, tak semestinya Indonesia menjadi negara miskin dan menggantungkan hidupnya dari eksploitasi tenaga kerja perempuan di luar negeri. Begitupun, tak akan ada alasan bagi para bapak untuk tak bekerja dan menggantungkan hidup mereka dan keluarganya dengan merelakan para isteri  bekerja menyabung nyawa di luar negeri.

Indonesia sebenarnya punya modal lebih dari cukup untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya hingga tujuh turunan sekalipun. Sumber daya alam kita melimpah ruah, baik berupa hutan, laut, sungai dengan segala isinya, bahan tambang berupa mineral, minyak, gas bumi, dll.  Tahun 2009 saja, Badan Geologi merilis data, bahwa Indonesia masih memiliki cadangan batubara 104.760 juta ton, emas 4.250 ton, tembaga 68.960 ribu ton, timah 650.135 ton dan nikel 1.878 juta ton. Sayangnya, amanah Allah berupa kekayaan alam milik rakyat ini tak dikelola secara baik oleh para penguasa Indonesia dari masa ke masa. Konsistensi mereka pada kebijakan ekonomi liberal kapitalistik telah menyebabkan sebagian besar kekayaan itu jatuh ke tangan asing. Jebakan kesepakatan internasional, hutang luar negeri dan rekayasa krisis ekonomi ala Yahudi berikut  penyelesaian masalah mereka pada resep IMF telah membuat pemerintah kita tunduk pada kemauan asing.

Akibatnya? Ladang minyak bumi Indonesia hampir 90 % dikuasai asing. Begitupun SDA yang lain. Salah satunya, PT. Freeport-McMoRan pengelola tambang emas asal Amerika mendapat izin gratis untuk mengeksploitasi pertambangan emas di Ertsberg dan Grasberg Papua  melalui perjanjian Kontrak Karya yang sejak tahun 1967 terus diperpanjang hingga saat ini. Tiap hari, perusahaan ini ditengarai berhasil menambang 102.000 gr emas (bayangkan, harga emas 24 karat sekitar Rp. 400 ribu/gr) berikut ‘bonus’ berupa tembaga dan uranium. Jika dihitung, emas kita yang sudah mereka rampok berjumlah 102.000grX43thX365 hari. Padahal emas yang mereka keruk ini bisa menjadikan kita memiliki cadangan devisa yang berlimpah tanpa harus mengorbankan rakyat terutama kaum perempuan untuk menjadi TKI. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing lainnya, yang dengan cara sama mereka mendapat legalisasi merampok kekayaan kita. Ada Exxon Mobil, Shell, British Petroleum, Total S.A., Chevron Corp. dll yang di tahun 2009,  semuanya diperkirakan mengelola kekayaan alam Indonesia dengan nilai 1.655 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 17.000 triliun/tahun = 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai rp 1.037 triliun.

Tentu saja semua kekayaan ini, seharusnya bisa menjadi modal pemerintah untuk membangun negara dan mesejahterakan rakyatnya, dengan memenuhi hak dasar mereka, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dll secara mudah, murah bahkan gratis. Dengan demikian, keluarga-keluarga di negeri ini, akan menikmati hidup dengan mudah dan merasakan ketentraman yang sesungguhnya. Para bapak, beroleh kemudahan mencari nafkah karena lapangan pekerjaan tersedia dengan mudah. Kebutuhan para Ibu dan 
anak-anakpun akan terjamin, sehingga tugas mulia mencetak generasi berkualitas akan berlangsung secara sempurna. Sayangnya, ini tak terjadi. Perselingkuhan para penguasa dengan pihak asing dan kapitalis, membuat mereka lebih rela menjadi kacung asing dan menjalankan kebijakan-kebijakan anti rakyat, seperti program liberalisasi, privatisasi BUMN, pencabutan subsidi, dan membuat berbagai regulasi yang menguntungkan asing/kapitalis ketimbang rakyat banyak, semisal UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, UU Migas, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar